Grobogan – Radar Tujuh,Angka perceraian di Kabupaten Grobogan terus melonjak tajam. Hanya dalam empat bulan pertama tahun 2025, Pengadilan Agama (PA) Kelas 1A Purwodadi mencatat sebanyak 1.185 perkara perceraian. Fakta mencengangkan lainnya, mayoritas pengajuan berasal dari pihak perempuan.
Dari jumlah tersebut, 895 perkara merupakan cerai gugat, yakni gugatan cerai yang diajukan oleh istri. Sementara sisanya, 290 kasus, merupakan cerai talak yang diajukan oleh suami.
“Ini menunjukkan bahwa semakin banyak perempuan yang berani mengambil keputusan untuk berpisah dan hidup mandiri,” ungkap Karmo, Panitera Muda Hukum PA Kelas 1A Purwodadi.
Ekonomi Jadi Biang Utama
Faktor ekonomi menjadi penyebab utama retaknya rumah tangga. Banyak istri mengaku tidak mendapatkan nafkah layak, bahkan ada yang tidak dinafkahi sama sekali karena suami tidak memiliki pekerjaan tetap atau penghasilan mencukupi.
“Masalah ekonomi mendominasi, namun gangguan dari pihak ketiga juga cukup sering muncul, meskipun tidak sebanyak faktor ekonomi,” imbuh Karmo.
Fenomena Sosial: Boro dan Jarak Ciptakan Jarak Emosional
Kondisi sosial masyarakat Grobogan juga ikut mendorong tingginya angka perceraian. Banyak pasangan yang menjalani hubungan jarak jauh karena bekerja merantau (boro) ke luar kota, bahkan luar negeri.
Minimnya komunikasi dan jarak emosional sering kali memicu konflik hingga berujung perceraian.
Tak hanya itu, tingginya jumlah penduduk dan dinamika sosial yang cepat juga menjadi pemicu tambahan bagi rentannya keharmonisan rumah tangga.
Perceraian Kini Makin Mudah Berkat e-Court
Kemudahan dalam mengakses layanan peradilan juga dinilai mempercepat proses perceraian. Melalui sistem e-Court, yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 7 Tahun 2022, proses perceraian kini bisa dilakukan secara elektronik—mulai dari pendaftaran, pembayaran hingga persidangan.
“Dengan sistem ini, proses menjadi lebih cepat dan biaya lebih ringan. Jadi, semakin banyak yang mengakses layanan ini,” jelas Karmo.
Karmo juga menyoroti adanya aturan baru yang memperkuat tren perceraian. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2023, pasangan suami istri bisa bercerai apabila terbukti sudah tidak tinggal serumah selama minimal enam bulan dan tidak ada harapan untuk rujuk, dengan catatan tidak ada unsur kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Prediksi Suram: Kasus Bisa Terus Meningkat
Melihat tren yang terjadi hingga April, PA Purwodadi memprediksi jumlah perceraian akan terus bertambah sepanjang tahun 2025.
Jika akar persoalan seperti ketimpangan ekonomi, kurangnya komunikasi pasangan, serta minimnya edukasi keluarga tidak segera ditangani secara menyeluruh, angka ini dikhawatirkan terus menanjak. AN - Sumber Media : Radar Kudus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar