Breaking News

Kamis, 11 Agustus 2022

Kelangkaan Gandum Yang Akan Diganti Sorgum

 


Jakarta - Wacana pemerintah untuk menanam massal sorgum di lahan seluas 154 ribu hektare dalam waktu dua tahun diragukan sejumlah pihak. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdulah, mempertanyakan kemampuan Indonesia menggeber produksi sorgum yang diyakini bisa menjadi alternatif gandum.

"Pak Jokowi kan menargetkan 2024, apakah itu bisa? Apakah melihat bagaimana kondisi permintaan dan penawarannya?” kata Rusli saat dihubungi pada Kamis, 11 Agustus 2022. 

Sorgum adalah tanaman berbentuk biji-bijian sereal yang memiliki manfaat sebagai pakan ternak, bahan dasar energi biodiesel, hingga bahan pangan. Wacana penanaman sorgum dalam jumlah besar muncul setelah sembilan negara mengungumkan menyetop sementara ekspor gandum di tengah gejolak geopolitik Rusia-Ukraina yang menyebabkan rantai pasok pangan terganggu.  

Sembilan negara yang menutup keran ekspor adalah Kazakhstan, Kirgizstan, India, Afghanistan, Aljazair, Serbia, dan Ukraina. Tersebab kondisi inilah Indonesia akhirnya mencari alternatif pengganti gandum bila stok komoditas itu terus menipis. 

Meski serupa gandum, Rusli melihat sorgum tak serta-merta bisa menggantikan bahan pokok mi, kue, hingga roti tersebut. Apalagi, dia melihat permintaan gandum di Indonesia setiap tahun terus meningkat karena konsumennya semakin besar. Hal ini ditunjukkan dari data impor dari dua negara yang tengah berkonflik, seperti Rusia dan Ukraina, yang beberapa waktu ke belakangan naik. Bahkan, impor dari kedua negara itu mencapai 25 persen dari total keseluruhan volume impor gandum di Indonesia.

Besarnya pasar gandum di Indonesia disebabkan oleh melonjaknya kebutuhan industri seiring dengan pergeseran pola makan masyarakat. Saat ini, kata Rusli, banyak orang Indonesia yang memilih mengkonsumsi gandum, seperti pizza dan olahan roti, khususnya kelompok masyarakat kelas atas.

Rusli berujar, orang kaya di Indonesia yang jumlahnya semakin banyak pada akhirnya meningkatkan permintaan gandum. “Coba orang miskin enggak perlu makan gandum yang penting ada beras kan,” ucap Rusli.

Meski demikian, Rusli berpendapat niat pemerintah menanam sorgum perlu diapresiasi. Upaya itu, tutur dia, merupakan langkah pemerintah untuk mensubtitusi gandum. “Pokoknya harus kita apresiasi karena memang kita kan bukan penghasil gandum Itu kan porsi impornya gede banget dan itu akan semakin meningkat. Jadi perlu diapresiasi,” ujar Rusli. 

Di sisi lain, Rusli melihat kelangkaan gandum telah membuat harga-harga pangan olahannya naik. Mi instan, misalnya. Di pasar, kata Rusli, harga mi instan sudaha terkerek Rp 200 hingga Rp 300. “Yang jelas sudah naik.”

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai langkah pemerintah untuk mengembangkan sorgum sebagai substitusi impor gandum tidak realistis. "Belum bisa. Skala produksinya masih terlalu kecil," ujarnya.  

Persoalan skala produksi ini, menurutnya, signifikan karena hanya sebagian wilayah di Nusa Tenggara atau di Indonesia bagian Timur yang bisa ditanami sorgum. Sementara itu di wilayah Indonesia lainnya, masyarakat lebih tertarik menanam beras karena faktor stabilisasi harga. 

Selain masalah lahan, menurut Bhima, muncul persoalan lain. Jika pemerintah ingin membuat food estate sorgum, Bhima menuturkan seharusnya pemerintah memperbaiki terlebih dahulu food estate yang sudah ada sekarang di Sumatera dan Kalimantan. Sebab, banyak food estate yang belum baik dari segi on farm maupun off farm-nya, juga pada saat pengerjaan maupun saat pengolahan pascapanen. 

Ia berharap pemerintah dapat memperbaiki dulu lumbung pangan atau food estate yang sudah ada sekarang, baru membahas soal komoditas lainnya. Sehingga anggaran untuk proyek tersebut tidak terbuang percuma. Apalagi jika pemerintah ingin menjawab krisis pangan, perlu dipikirkan jangka waktu proyek ini membuahkan hasil. 

"Ternyata proyeknya masih 10-20 tahun lagi berhasilnya, padahal krisis pangannya terjadi sekarang," tuturnya.

Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebelumnya mulai memerintahkan anak buahnya untuk mencetak lahan sorgum hingga 154 ribu hektare sampai 2024 nanti. Sorgum akan dikembangkan, termasuk sampai ke produk turunannya untuk konsumsi tepung sorgum, sekalipun harganya lebih mahal ketimbang tepung terigu yang biasa digunakan masyarakat.

"Tepung sorgum ini menjadi miss product, karena dia gluten free," kata  Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto seusai rapat terbatas di Istana Negara, Jakarta, Kamis, 4 Agustus 2022

Airlangga menjelaskan ketika dipanen, harga sorgum mencapai Rp 13 ribu per kilogram dan butuh rasio empat kali untuk menghasilkan tepung. Sehingga, harga produksinya sekitar Rp 52 ribu dan harga jual mencapai Rp 60 sampai 70 ribu per kilogram.

Harga ini terpaut jauh dengan harga tepung singkong yang hanya Rp 9.000 per kilogram, sagu Rp 9.000 per kilogram, maupun tepung terigu yang sekitar Rp 12 ribu.  Sehingga, Airlangga menyebut produk tepung sorgum ini bersifat premium di pasar. 

Walau demikian, pemerintah tetap akan mengembangkan industri off taker untuk menyerapkan sesuai dengan jumlah lahan yang sekarang diperluas. Di tahap awal, pemerintah akan mengembangkan lahan sorgum sampai 100 ribu hektare. "Baru industrinya kami eskalasi lagi," kata dia..er-sumber:tempo.co

Tidak ada komentar:

Posting Komentar